DoReMiFaSoLaSiDo

Story 1 (episode 1)

Suatu hari, seorang gadis cilik bersuara merdu bernama Renata mengayuh sepedanya agar sampai ke tempat les vokalnya di Flamboyant Music Course. Disana, ia sudah kursus selama 2 tahun. Kini, ia duduk di kels 2 SMP dan usianya sudah menjelang 14 tahun. Jadi, ia memulai kur-sus sejak kelas 6 SD disaat a memasuki usia 12 tahun.
Disana, ia mengambil kursus bidang vo-kal. Selain itu juga ada sepupunya, Fania yang kursus piano disana. Ada juga teman sekelasnya yaitu, Devo, Latif dan Miriam. Devo kursus drum, Latif memilih bass, sedangkan Miriam memlih biola (wah, cewek banget ya, si Miriam). Eh, tapi jangan salah, loh! Walau begitu, Miriam ini banyak prestasinya. Yang juara kelas, lah, olimpiade renang, lomba tari, bahkan festival biola, tentunya. Yang sebelnya, mamanya Renata ini suka banget ngebanding-bandingin Renata sama Miriam. Ya jelas beda jauh, lah! Renata aja cuman masuk 10 besar, itupun udah Alhamdulillah. Renata, sih.... baca komik terus.
Oh ya, kalo Devo ini badannya gede loh... Diam-diam, dia suka sama Renata. Renatanya sih biasa aja. Devo ini nge-fans sama Cobus Potgieter (kayak temenku aja, si Elvira Annisa). Ga terlalu terkenal, sih. Tapi dia suka permainan drumnya yang lincah abis. Eh, percaya gak kalo Devo itu pernah nembak Renata pake permainan drumnya. Renatanya, sih, nolak mentah-mentah. Dia bilang kalo sekarang belum waktunya. Padahal, kan, Devo banyak yang suka. Tapi Renata tetep aja gak peduli. Malahan Renata sering banget ngejekin badannya Devo itu mirip Orang Utan. Dia nulis di blognya Devo lagi! Waduh, cari masalah nih Renata. Padahal, kan, Devo gak gendut, cuman tinggi agak berisi! Ah... Renata... Renata.
Kalo Latif, beda lagi ceritanya. Latif ini anak paling tua di kelasnya. Usianya udah menjelang 15 tahun. Tapi tingkahnya, anak-anak asli! Dia sempet malu sama namanya. Latif, kan, nama cewek. Masa’ cowok namanya kayak cewek. Eh, Miriam suka sama Latif, loh. Sayangnya, Latif udah punya pacar. Padahal, Miriam sama Latif itu temen curhat, loh! Lagian yang ngecomblngin Latif sama Vita, pacarnya Latif, itu Miriam loh! Padahal sebenernya, Miriam sakit hati banget waktu itu...
 oh, ya Latif punya adik perempuan, namanya Qrystal. Qrystal ikutan agen model yang sama kayak Renata. Qrystal itu saying sama Latif. Tapi, kalo dirumah, mereka itu diem-dieman aja. Iiiih.... gak seru banget. Qrystal itu suka main biola, tapi belum sejago Miriam. Qrystal, kan, masi beginner. Ha..ha..ha.... Qrystal ini jagoan bahasa Jerman loh... Latif aja gak bisa... HU!!!!!  Renata pernah iseng-iseng baca diary-nya Qrystal. Renata malah gak ngerti. Soalnya pake bahasa Jerman, sih...

(to be continued) 


Story 1 (episode 2)



Qrystal itu Vierrania sejati (Wah, sama, nih, sama sang penulis. “Ya, nggak penulis? Penulis!!” “Hehehe.. iya, deng!”) Apalagi sama kak Widy sang vokalis dan kak Kevin sang keyboardist. Uwaaaa.... Mungkin, Qrystal suka Vierra juga karena factor nama kali, ya? Secara, Vierra, kan, diambil dari bahasa Jerman yaitu, Vier yang artinya 4, karna personelnya ada 4 orang.... Tapi, emang, sih, Vierra itu kece abis.... Uwaaa.... Oya, aku hamper lupa dengan gagasan utama kita.
Okidoki, by the way, Saking cintanya Qrystal dengan biolanya, biolanya mempunyai nama, yaitu Aprilio. Hehehe... Obsesi...  Eh, setuju, nggak kalo aku mulai, aja, ceritanya? (aku anggap setuju aja, deh, semuanya. Hihihihi...)
Siang itu... 
Who is that girl I see? Staring straight back at me and when my reflection show, who I am inside? “Udah oke, sih, tapi kurang getar, tuh, suaramu, Ren. Tapi gak apalah hari ini kita udah latihan banyak. Pulang, gih, besok sekolah, kan?” Mbak Ratih ngomentari suara Renata sambil melipat syal hijau tosca-nya. “Oke, deh, mbak. Renata pulng duluan ya, mbak. Bye... jangan kangen!” Renata ge-er. “Gak, deh, Ren, lebay banget kamu! Ya udahlah.. Bye... hati-hati ya!” kata mbak Ratih dari kejauhan.
Bruakkk... “Awwwhhh...” Renata merintih kesakitan melihat lengannya yang lecet. “Eh, sorry, Ren, gak sengaja! Nggak kelihatan kalo ada kamu tadi” Anak laki-laki itu, membantu Renata berdiri. “Makanya, liat-liat, dong, naik sepeda. Sakit, nih!”Renata berwajah ketus. “Emangnya kamu kira aku nggak luka apa? Justru, seharusnya kamu yang hati-hati!” Anak itu ternyata Devo, ia menunjukkan betisnya yang mengeluarkan darah. “Ya udah, impas kalo gitu” Renata curang banget, sih! “Curang! Tiba salah, aja, bilang impas! Licik kamu, Ren!” cibir Devo yang membuat Renata menghentikan langkah sepedanya. “Iya, deh, tapi aku gak bawa plester! Taapi aku bawa air. Kucuci dulu, ya, biar gak infeksi! Tapi nanti sampai rumahmu, langsung dibalut plester, ya?” Renata membasuh tangannya dengan air, kemudian membasuhnya di betis Devo. “Kamu emang PMR yang hebat..” pndangan Devo tertuju pada Renata yang membasuh betisnya. “Jangan gitu, deh, malu jadinya!” muka Renata memerah. “Udah, nih, pulang sono, trus langsung di plester!” Renata menyuruh Devo pulang dan segera berlalu. “Ren!” tiba-tiba Devo memanggilnya. Renata menoleh. “Makasih, ya!” kata Devo tulus. Renata pun mengayuh sepedanya.
Di perjalanan pulang, Devo ngerasa betisnya gak sakit lagi. Tapi, jantungnya berdebar-debar dan sangat senang. Pokoknya, dia sangat menikmati perjalanan pulangnya siang itu. Inikah namanya cinta? (eciee... ehm.. ehm...) Ya sudahlah. Devo udah sampe di rumahnya yang bewarna merah bata itu. Rumah Devo gak jauh dari rumah Renata. Cuma beda blok aja. Rumah Devo di blok F, sedangkan rumah Renata berada di blok D. Paling perjalanannya gak nyampe 2 menit. Tapi, Renata sama Devo kurang akrab walaupun satu kelas. Ya ampun... gimana jadinya, tuh?
Esoknya, “Kok, keras, sih, ma rotinya?” Renata kesusahan menggigit roti yang keras itu. Apalagi ia baru pasang behel. Emang, sih, lucu, tapi ribet katanya. Apalagi karetnya bentuk Mickey Mouse. “Oh, iya. Itu mama beli roti Belanda dari Jakarta. Titip sama tante Widya. Tapi enak, kan?” mama menyiapkan susu vanilla untuk Renata bawa ke sekolah. “Enak, sih, tapi kasian behelku!” Renata menggerutu. “Kan, kamu sendiri yang minta pasang behel. Jangan salahin mama, dong, kalo gitu!” mama balas menggerutu. Renata pun menyalami mama dan segera naik ke dalam mobil papa yang udah standby di garasi. “ngapain, aja, sih, Ren? Kok, lama betul?” Papa memakai seat belt-nya sambil menginterogasi Renata. “Itu, tuh, mama ngasih roti kayak sandal. Keras banget!” Renata mengunyah sandwich. “Apa rasanya makan sandal Ren?” Papa nggangguin Renata. “Papa rasain, aja, sendiri, deh!” Renata memasang seat belt-nya. Papa tertawa kecil
.
(to be continued)